Pada sekitar dekade 20-an, dimana rakyat Indonesia masih berada dalam genggaman pemerintah kolonial. Di sebuah dusun kecil yang bernama Kapas di kota Jombang tepatnya pada tahun 1911 M. lahirlah seorang perintis yang kita kenal sebagai sosok pecinta ilmu yang arif, bijaksana, tegas dan kharismatik. Beliau adalah Hadrotus Syekh Romo KH. Abdul Fattah. Terlahir dari pasangan KH. Hasyim Idris (Kapas Jombang) dan Ibu Nyai Hj. Fathimah binti KH. Hasbullah bin KH. Abdus Salam (Tambakberas Jombang), beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara. Adik pertamanya bernama Maisaroh (Istri KH. Nur Salim, Mayangan). Kemudian KH. Abdul Wahid dan yang terakhir adalah KH. Faiq Hasyim (Kedunglo Kediri).
A. Mengenal lebih dekat Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dilahirkan di Kapas Jombang tepatnya pada tahun 1911 M. dan wafat lebih kurang 31 tahun yang lalu tepatnya pada hari jum’at wage tanggal 27 April 1977 pukul 22.15 di Tambakberas Jombang. Ayahandanya bernama KH. Hasyim bin Kyai Idris dari kapas Jombang adalah seorang Kyai yang sangat digdaya, terkenal ilmu kanuragannya, wira’ i dan ahli tirakat, sementara Ibunya bernama Fathimah putri KH. Hasbullah seorang dermawan yang kaya raya Pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Ibu Nyai Fathimah adalah adik termuda dari seorang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama’ KH. Abdul Wahab Hasbullah. KH Abdul Fattah Hasyim merupakan putra pertama dari empat bersaudara, adik pertamanya bernama KH. Abdul Wajid kemudian Ibu Nyai Fatihah ( istri KH. Nursalim Mayangan) dan yang terakhir ( Saudara seayah beda Ibu ) KH. Moh. Faiq Kedunglo Kediri.
Silsilah keturunan KH. Abdul Fattah Hasyim dari ayah maupun ibu mempunyai jalur kenasaban (Intisab) sampai pada Pangeran Benowo, dari pangeran Benowo ke atas jalur keturunan bertemu langsung (muttashil) sampai pada Joko tingkir ke atas lagi sampai Sultan Pajang ( 1570-1587M).
Setelah usianya sudah mencapai dewasa setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intlektual (ngudi kaweruh babakan ilmu Agomo) di beberapa Pondok Pesantren di pulau jawa, tepatnya pada 1938 di usianya yang ke 27 KH. Abdul Fattah di jodohkan seorang gadis cantik yang bernama Musyarrofah, putri KH. Bisyri Sansuri pengasuh Pondok Pesantren Denanyar Jombang suami dari ibu Nyai Khodijah yang merupakan kakak kandung Ibu Nyai Fathimah Ibunya KH. Abdul Fattah. Buah dari perkawinan beliau dengan Ibu Nyai musyarrofah melahirkan dua belas putra putri (tiga putra dan sembilan putri). Adapun keduabelas putra putri KH. Abdul Fattah adalah sebagai berikut :
Fathimah (Alm) meninggal di usia dua tahun
Mu’izah (Alm) mennggal di usia dua tahun
Nyai Hj. Nafisah Sahal, istri KH. Sahal Mahfud (Pengasuh Pondok Pesantren Maslahul Huda Kajen Pati)
Nyai Hj. Hurriyah Jamal, istri KH. Djamaluddin Ahmad ( pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Mahsunah (Alm) meninggal di usia bayi
Nyai Hj. Muthmainnah Sulthon, nama aslinya Kholishoh, Istri KH. Sulthon Abdul Hadi (pengasuh pondok pesantren Al Hikmah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Hubby Syauqi (Alm), ayahanda Agus Jabbar Hubbi Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Bahrul Ulum.
Nyai Hj. Lilik Muhibbah, istri KH. Masduqi Amin (Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Gedongan Cirebon)
KH. Abdul Nashir, (Pengasuh Pondok Pesantren Al Fathimiyyah dan pengasuh Pondok Induk Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas)
KH. Ah. Taufiqurrahman, (Pengasuh Pondok Pesantren Ar-roudloh Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Nyai Hj. Syafiyah, nama aslinya adalah makiyyah istri Dr.Yahya Ja’far (Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Al Fathimiyyah Denoyo Malang)
Bani meninggal ketika masih kecil
B. Kepribadian Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dikenal sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang adekuat. Hal ini nampak pada perilakunya yang cenderung teguh dalam memegang prinsip, suka menolong, penuh kasih sayang, zuhud, wira’i dan tawaddlu’. Belaiu juga seorang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi dan istiqomah terhadap hal-hal yang terkait dengan mu’amalah, pendidikan, dan ibadah. Dengan karakternya yang demikian beliau sangat dihormati oleh orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Dalam urusan jamaah shalat lima waktu KH. Abdul fattah sebagaimana yang di tuturkan oleh putrinya Ibu Nyai Hj Nafisah tidak pernah absen, bahkan menjelang wafatnya di saat mengalami sakit parah beliau masih menanyakan orang yang menyertai jamaahnya. Hampir setiap subuh sekitar pukul 03.30 pagi dengan sangat telaten beliau membangunkan para santri dari kamar perkamar untuk jamaah shalat subuh, mengomando dengan meniup trompet di depan rumahnya kepada para santri untuk meng’adzani setiap masuk waktu shalat. Setengah jam sebelum di mulai jamaah sholat beliau KH. Abdul fattah sebagaiman yang di katakan oleh KH Hasan, beliau sudah siap dengan pakaian shalat yang lengkap dengan serban (imamah) di kepala dan sajadah di pundaknya, seperempat jam sebelum jamaah di mulai beliau sudah megerjakan i’tikaf di Masjid.
Kedisiplinan dan keistiqomahan yang tinggi juga nampak dari dalam diri beliau KH. Abdul fattah Hasyim ketika membimbing dan mengasuh santri-santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum. Tepat pukul 07.00 ketika sudah waktunya masuk sekolah, sebelum bel masuk berbunyi beliau sudah bertandang lebih dahulu ke Madrasah, mengontrol para guru yang tidak masuk pada hari itu, sehingga menurut Pak Ihsan Mojokrapak sebagai salah seorang guru pada era Kyai Fattah, melihat kedisiplinan yang tinggi yang sudah mendarah daging pada diri KH. Abdul Fattah tersebut sehingga menimbulkan perasaan malu (ewuh pakewuh) dari para guru ketika terlambat atau atau tidak masuk mengajar. Begitu juga dalam urusan pengajian para santri setelah shalat Subuh dan Ashar menurut K. Ilham, beliau KH. Abdul fattah adalah tipikal orang memiliki jiwa istiqomah yang sangat tinggi sekali, tidak pernah absen dalam memberikan pengajian, kecuali terdapat udzur yang sangat mendesak yang tidak bisa beliau tinggalkan. Konon karena kedisiplinan dan keteguhannya dalam memegang perinsip dan amanah khusussnya amanah para santri yang di titipkan oleh orang tuanya kepada belaiu, walaupun ada tamu sekalipun dari jauh kalau sudah waktunnya ngajar maka beliau lebih memilih untuk mengajar dari pada melayani tamu tersebut, hal ini di sebabkan karena beliau merasa punya tanggung jawab terhdap santri santri yang di titipkan kepadanya. Begitu juga dalam memberikan pengajian masyarakat beliau KH. Abdul Fatttah Hasyim tidak pernah lobong (absen) sebagaimana yang di tuturkan oleh bapak Munif ketua ranting NU pada era kyai Fattah, bahwasanya KH Abdul fattah adalah seorang yang disiplin dan istiqomah dalam membina pengajian Masyarakat, walaupun kondisi cuaca kurang bersahabat sehabis hujan, kondisi jalan masih terjal, bergelombang (becek jw) dan gelap karena belum ada penerangan listrik beliau KH. Abdul fattah tidak pernah malas dan patah semangat untuk datang ke musholla musholla dalam rangka mengisi pengajian masyarakat, ketika pengajian di mulai jam 08.30 malam beliau KH. Abdul Fattah sudah datang sudah datang secara tepat sesuai dan langsung memulai pengajian tersebut walaupun kedaan jamaah yang hadir masih sangat sedikit, begitu juga ketika pengajian selesai jam 10 malam maka pada saat itu pula beliau langsung mengahiri pengajian walaupun tema pengajian yang di bicarakan belum tuntas. Sehingga menurut Mbah kholiq pengiat pengajian kyai Fattah, akibat kedisiplinan dan keistiqomahan beliau kyai Fattah tersebut para jamaah yang sedianya akan absen mengikuti pengajian merasakan malu (sungkan : bahasa jawa) dengan dirinya sendiri, dan realitas yang terjadi pada masa pengajian KH. Abdul Fattah akibat kedisiplinan dan keistiqomahannya hampir setiap musholla pada saat pengajian beliau selalu di penuhi dengan pengunjung, bahkan pihak panitia pengajian sampai harus membuatkan tenda khusus untuk menampung jamaah pengajian yang tidak kebagian tempat dalam pengajian yang di asuh oleh beliau.
Di mata keluarganya terutama putra putrinya KH. Abdul fatah Hasyim adalah sosok seorang ayah yang sangat tegas dan disiplin, setiap subuh beliau sudah membangunkan putra putrinya untuk jamaah shalat subuh. di tengah kesibukan mengasuh dan mendidik masyarakat dan anak anak pondok. Sebagai seorang ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap putra putrinya terutama dalam urusan pendidikan mereka beliau KH. Abdul fattah Hasyim juga tidak pernah lepas kontrol terhadap segala aktifitas yang di lakukan oleh putra putrinya terutama dalam hal pendidikan, hampir setiap hari beliau selalu memantau perkembangan belajar putra putrinya, selalu menanyakan hasil belajar yang di raih putra putrinya serta tidak jarang beliau menangani sendiri pengajaran mereka, sebagaimana yang di alami oleh Ibu Nafisah Sahal, ketika menginjak kelas enam Madrasah Ibtidaiyyah dia di ajar sendiri oleh ayahandanya tentang pelajaran ilmu Faraidl. Perhatian KH. Abdul fattah tidak berhenti pada saat putra putrinya masih belajar di rumah saja akan tetapi ketika putra putrinya sudah suadah meneruskan belajar di pondok pesantren mereka masih mendapatkan pantauan dan perhatian serius dari beliau, hal ini terbukti ketika putra putrinya pulang dari pondok pesantren sebagaimana yang di ceritakan oleh Ibu Lilik muhibbah salah satu putri beliau, bahwasanya, kalimat pertama yang di lontarkan beliau kepada sang anak sepulang dari belajar dari Pondok di antaranya adalah “berapa nilai rapornya, ketika mengikuti pelajaran di pondok” dan “bagaimana kitabnya (penuh tidak maknanya)”, hal ini menunjukan bahwa KH. Abdul fattah Hasyim sosok yang sangat disiplin dan sangat intens dan disiplin terhadap pendidikan putra putrinya.
KH. Abdul fattah seorang yang teguh dalam memegang prinsip terutama prinsip prinsip syari’ah, komitmen penuh dalam memegang hukum, tidak ceroboh (semberono) dalam memutuskan setiap permasalahan lebih lebih yang berkaitan dengan hukum syariat, sebuah contoh yang sangat menarik tentang komitmen beliau pada permasalahan hukum sebagaimana yang di tuturkan oleh KH. Djamaludin adalah kebijakan beliau KH Abdul Fattah tentang hukum pengumpulan zakat fitrah oleh pengurus NU ranting melalui para penerima zakat mustahiqquzzakat yang di tunjuk panitia untuk menerima zakat dari masyarakat, dalam memutuskan boleh tidaknya kebijakan seperti ini KH. Abdul Fattah tidak buru buru memutuskan hukum boleh atau tidak kebijakan di atas, akan sebagai langkah ihtiyath (hati hati) untuk mencapai kebenaran hukum dalam kacamata syara’ beliau tidak merasa malu untuk menanyakan terlebih dahulu hukumnya kepada KH. Bisyri Sansuri. Begitu juga dalam hal penegerian Madrasah Muallimin oleh pemerintah melalui menteri Agama tahun 1969 KH. Abdul Fattah tidak serta merta menerima tawaran tersebut akan tetapi tawaran tersebut di terima setelah melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang, sehingga wujud kongkritnya setelah di negerikannya Madrasah Muallimin tersebut ciri ciri khas pesantren yang berupa kurikulum kitab kitab salaf tidak sampai tergusur serta menjadi menu utama dalam proses belajar mengajar di Madrasah ini, hal ini tidak lepas dari komitmen KH. Abdul Fattah Hasyim dalam mempertahankan prinsip dan ajaran-ajaran yang di rintis oleh Ulama Ulama salaf .
Menurut ibu Nafikah salah satu santri al fathimiyyah tahuan 50an, dalam kaitannya memelihara Amar ma’ruf nahi seperti pergaulan antara laki laki dan perempuan KH. Abdul Fattah Hasyim memiliki sikap yang sangat tegas dan ketat. bahkan beliau sangat tidak setuju sekali apabila terdapat acara pengajian sementara di dalamnya terdapat percampuran antara laki-laki dan perempuan, begitu juga apabila terdapat pengajian yang di hadiri oleh kaum laki laki sementara yang memberi ceramah dan pembaca Al Qur’an dalam pengajian tersebut adalah seorang perempuan beliau sangat tidak setuju sekali dan tidak akan bersedia hadir dalam acara tersebut.
C. Kesalehan kyai Fattah
Walaupun pikiran, tenaga, dan waktu beliau curahkan untuk mendidik dan membina (ngemong) santri dan masyrakat, bukan berarti KH. Abdul Fattah Hasyim berpangku tangan serta melepaskan diri dalam urusan-urusan keluarga. Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan keluarga terutama dalam hal ekonomi, berbagai usaha dan pekerjaan pernah beliau jalanai, beliau pernah merintis bisnis penimbunan garam, berdagang tembakau, membuka toko dan lain lain akan tetapi dari usaha-usaha yang beliau terjuni itu selalu mengalami kerugian, bahkan uang pinjaman yang rencanaya akan beliau alokasikan untuk mengembangkan usaha usaha tersebut raib di ambil oleh sekawanan pencuri, sehingga dalam perkembanganya untuk menyambung kebutuhan keluarganya beliau hanya mengandalkan penghasilan dari toko kecil dan sebidang tanah yang sampit yang di pelihara oleh salah seorang abdi ndalem dan salah seorang warga kampung Tambakberas.
Dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan (paspasan : bahasa jawa), tersebut tidaklah mengendurkan perhatian beliau KH. Abdul Fattah Hasyim terhadap nasib faqir, miskin dan orang orang yang membutuhkan, hampir tiap pekan bisa di pastikan terdapat tamu yang bertandang ke rumah beliau untuk meminta sumbagan, di tengah tengah kondisi ekonomi yang sempit yang beliau alami, dengan tanpa berat (ora eman.: bahasa Jawa) beliau memberikan sebagian harta yang beliau miliki kepada mereka, akibat kedermawanan dan kemurahan beliau terhadap orang yang membutuhkan sampai beliau sering menuai protes dari Ibu Nyai.
Dengan kedermawanan beliau yang begitu tinggi dalam kondisi ekonomi yang sempit sehingga putrinya Ibu Hj Nafisah sahal mengibaratkan KH. Abdul Fattah Hasyim bagaikan air yang selalu mengalir yang tidak pernah berhenti alirannya walaupun di pancarkan ke berbagai aliran.
Adapun untuk kehidupan KH. Abdul Fattah Hasyim yang berhubungan dengan ibadah, dan amalan amalan keseharian lainnya, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bapak Abdurrohman Saliman yang pernah menjadi abdi ndalem kyai Fattah, bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim adalah seorang yang sangat istiqomah dalam urusan jama’ah shalat lima waktu, bahkan hingga beliau di beri cobaan sakit parah yang meyebabakan beliau di panggil Allah, beliau tidak bersedia meninggalkan jamaah.
Untuk amalan amalan ibadah selain jamaah yang rutin di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim sebagaimana di tuturkan oleh putri beliau Ibu lilik Muhibbah adalah istiqomah membaca al qur’an setelah jamaah shalat shubuh sampai jam tujuh pagi, dalam rentang waktu tersebut tidak kurang empat juz dari al Qur’an yang beliau baca, bahkan kemanapun berpergian beliau selalu membawa Qur’an kecil di sakunya.
Adapun untuk amalan yang berupa wirid wirid atau dzikir tertentu tidak begitu banyak yang di amalkan oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim, beliau juga tidak terlibat secara formal dalam Thoriqot Thoriqot tertentu seperti Thoriqot Syadiliyah, Naqsyabandiyah dan lain lain sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, walaupun beliau sendiri mempunyai amalan amalan Thoriqot tersebut, Sebagaimana di katakan oleh KH. Syamsul Huda bahwasnya menurut KH. Abdul Fattah Hasyim ketika seorang sudah mengamalkan shalat lima waktu dengan berjamaah di tambah dengan Shalat sunnat rowatib dan membaca Al-Qur’an secara kontinyu (istiqmah) maka sudah merupakan aktualisasi pada pengamalan Thoriqot. Senada dengan Pak Kyai Syamsul Huda putra beliau KH Abdul Nashir menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim tidak pernah mengikuti thoroqot tertentu, hal ini di sebabkan karena ketika beliau KH. Abdul Fattah Hasyim sowan kepada KH. Wahab Hasbullah dalam rangka memohon izin untuk mengikuti Thoriqot tertentu, permohonan izin tersebut langsung di jawab oleh beliau KH. Wahab bahwa dengan megadakan pengajian, mendidik dan membina santri secara rutin sudah merupakan perwujudan dari pengamalan Thoirqot.
Selain amalan amalan yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim sebagaimana yang di sebutkan di atas adalah daya belajar (Mutholaah) beliau yang sangat tinggi, hampir setiap hari terutama malam hari beliau secara rutin mempelajari berbagai kitab, terutama kitab kitab yang sedianya di sampaikan di pengajian santri dan masyarakat. Begitu tingginya mutholaah beliau sehingga ketika Gus Dur meminta waktu untuk mengaji sebuah kitab tertentu beliau harus mendapatkan kesempatan jam 01 malam untuk bisa mengaji sorogan dengan beliau
D. Perjalanan intelektualitas kyai Fattah
Perjalanan KH. Abdul Fattah Hasyim dalam menuntut ilmu di awali dari gemblengan secara intensif dari ayahandanya sendiri, beliau mendapatkan pendidikan dasar Ilmu Ilmu Agama dan pengajaran Al Qur’an. Di samping mendapatkan pendidikan dari ayahandanya sendiri KH. Abdul Fattah juga mendapatkan tambahan pendidikan dasar dasar Ilmu Agama di Madrasah Ibtidiyyah Tambakberas yang pada saat itu beliau se angkatan dengan KH. Moh Wahib sampai kelas enam shifir
Setelah mengijak remaja, dengan berbekal dasar ilmu agama yang telah beliau kuasai selanjutnya KH. Abdul Fattah Hasyim melanjutkan perjalanan intlektualnya Rihlah Ilmiyyah ke beberapa Pondok Pesantren, dan sudah menjadi tradisi yang umum di kalangan santri santri zaman dahulu melakukan perjalanan menuntut ilmu yang tidak hanya di satu atau dua pesantren saja, tradisi ini mereka lakukan di sebabkan karena antara pesantren satu dengan pesantren lainnya mempunyai karakter dan keunggulan yang berbeda beda, terdapat tipe pondok pesantren yang hanya mendalami ilmu ilmu Nahwu (Gramatikal Arab), terdapat tipe pesantren yang hanya mengfokuskan pada pengkajian ilmu al qur’an dan Hadits dan ada juga tipe Pesantren yang hanya mengfokuskan pada bidang pengkajian ilmu Tashawwuf sehingga alasan seperti ini mungkin yang mengilhami KH. Abdul Fattah Hasyim untuk melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah ilmiyyah) ke beberapa Pondok Pesantren. Pondok. Pertama kali yang di tuju oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraan menuntut ilmu menurut sebagian pendapat adalah pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, selanjutnya setelah mendapatkan seberkas cahaya ilmu (Nuurul ilmu) dari Pondok tersebut beliau melanjutkan ke Pondok pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo di bawah asuhan KH. Khozin, di Pesantren ini beliau mendalami Ilmu Ilmu Tata Bahasa Arab (Gramatikal Arab) yang meliputi Shorof, Nahwu (Al fiyyah Ibnu Malik) dan Balaghoh. Setelah beberapa lama menimpa ilmu di Pesantren Siwalan Panji, dan mendapatkan modal ilmu yang luas beliau KH. Abdul Fattah Hasyim belum merasa puas dan masih merasa bodoh terhadap ilmu yang telah di capai, sehingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan intlektual di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah bimbingan dan asuhan Hadlrotussyaikh KH. Hasyim asyari. Di pilihnya Pesantren Tebuireng sebagai alernatif terakhir oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraannya mencari ilmu tidak lain di sebabkan karena sosok Kyainya yang Alim Allaamah, sosok Ulama pewaris yang di gambarkan oleh Rosulullah SAW dari Hadits yang di riwayatkan oleh Jabir :
عن حابر رضي الله عنه ( موقوف مرفوع ) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تجالسوا العلماء إلا إذا دعوكم من خمس إلى خمس : من الشك إلى اليقين ومن الكبر إلى التواضع ومن العداوة إلى النصيحة ومن الرياء إلى الإخلاص ومن الرغبة إلى الزهد "
Di riwayatkan dari sahabat Jabir dia berkata: Rosulullah SAW bersabda: “ janganlah kalian bergabung dengan setiap orang alim (‘ulama’) kecuali mereka mengajak kalian dari lima perkara menuju lima perkara, dari keragu raguan menuju keyaqinan dari riya’ kepada ikhlas, dari cinta dunia kepada benci dunia dari sifat sombong kepada sifat tawadlu’ (merendahkan diri), dari permusuhan kepada nasehat (Imam Ar-Rozi Tafsir Ar- Rozi Vol 1 hal 472. CD. Maktabah As-Syamilah
Di samping itu KH. Abdul Fattah ingin ngalap (mengambil) barokah dari KH Hasyim Asyari sebagai sosok kyai yang alim, wira’i, dan zuhud, tawaddlu’, sosok kyai yang menjadi lentera umat, dengah barokah tersebut dapat menjadi cahaya pembuka hati beliau dalam mencari ilmu yang di ridloi oleh Allah SWT, sebagaimana wasiat sang bijak Luqman al Hakim kepada kepada putranya : “putraku bergabunglah kalian dengan ulama’ dan ambilah berkahnya, sesungguhnya Allah menerangi hati itu dengan ilmu seperti bumi yang subur karena di siram air hujan (Al Muwatha’ Imam Malik). Dalam Nasir Sulaiman . al Ilmu Dloruroh al Syar’iyyah . (Riyadl: Darul Wathon. 1992), h. 17
Pada saat mondok di Pesantren Mbah Hasyim ini bakat intlektual KH. Abdul Fattah mulai tampak, sehingga di mata Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari KH. Abdul Fattah termasuk santri istimewa, bahkan menurut KH. Ilham perak bahwasanya KH. Hasyim Asyari tidak akan memulai mbalah (membaca) kitab untuk para santri sebelum KH. Abdul Fattah Hasyim berada di sampingnya. Dan karena kapasitas keilmuan KH. Abdul Fattah yang sudah mumpuni sehingga Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari memberi amanat. Beliau untuk ikut membantu mengajar para santri di Pesantren Tebuireng serta sering menjadi badal (pengganti) Hadlrotussyaikh ketika beliau berhalangan hadir dalam pengajian masyarakat. Menurut penuturan KH. Djamaluddin bahwasannya Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari pernah mengirim beliau KH. Abdul Fattah Hasyim sebagai duta Pondok dalam rangka mengemban misi da’wah Islam di daerah Sekaran Balen Bojonegoro selama kurang lebih tiga tahun.
Kesungguhan KH. Hasyim Idris untuk menempa kyai Fattah salah satunya nampak pada peristiwa ketika kyai Fattah mondok di tebuireng dan dalam keadaan sakit Sewaktu beliau KH. Abdul Fattah mondok di Tebuireng, sebagaimana di ceritakan oleh K Faiq Hasyim bahwsanya pada saat itu beliau mendapat cobaan sakit parah sehingga para pengurus pondok terpaksa megantarkan beliau pulang ke rumah dengan harapan cepat sembuh ketika sudah di rumah, akan tetapi dalam kenyataannya sesampainya beliau ke rumah (belum sampai masuk rumah) KH. Hasyim Idris (abahnya K fattah) sudah muncul dari rumah dan langsung melarang untuk masuk rumah sambil berkata:” lapo muleh ….luweh apik mati nang pondok dari pada muleh, aku ihlas, ridlo awakmu mati nang pondok dari pada mati nang omah ” dan tidak lama setelah kembali lagi ke pondok beliau di beri kesembuhan oleh Allah dari sakit yang di deritanya
Berbagai fan ilmu di pelajari oleh KH. Abdul Fattah Hasyim di Pesantrennya Mbah Hasyim Asyari, namun yang paling menonjol dan paling di geluti adalah Kitab Hadits Shoheh Bukhori yang di susun oleh Muhammad bin Isma’il al bukhory dan Shoheh Muslim yang di karang oleh Muslim bin Hujjaj al Qusyairi, bahkan untuk kedua kitab tersebut KH. Abdul Fattah mendapatkan sanad secara langsung (muttashil) dari Hadrotussyaikh KH.Hasyim Asyari.
E. Kyai Fattah dan pengembangan pesantren
Antara KH. Abdul Fattah Hasyim dengan pesantren ibarat sekeping koin yang salah satu sisinya saling melangkapi, KH. Abdul Fattah Hasyim adalah figur Kyai dari Pesantren oleh Pesantren dan untuk Pesntren
Setelah belasan tahun secara intensif menggali pengetahuan keagamaan di berbagai Pondok Pesantren, selanjutnya maka, tak heran jika KH. Abdul Fattah Hasyim akhirnya mempunyai kapasitas dan intlektual keilmuan yang tinggi, mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, maka sekembalinya dari Pesantren Tebuireng pada tehun 1940 beliau langsung mendapat amanat dari KH. Hasyim Asyari untuk mengajar di Pesantren Denanyar, pada saat beliau membanntu mengajar di Pesantren Denanyar banyak Santri dari Pondok Pesantren Tebuireng yang pindah ke Pesantren Denanyar mengikuti jejak beliau, dan konon beliau KH. Abdul Fattah Hasyim juga turut serta memprakarsai berdirinya Madrasah di Pondok Pesantren Denanyar.
Selang beberapa lama setelah ikut membantu mengajar (khidmah) di Pondok Pesantren Denanyar beliau di minta kembali ke Tambakberas tanah kelahirannya di sebabkan sang ayah KH. Hasyim Idris di panggil yang maha kuasa.
Ulama’ adalah lentera umat, di manapun mereka berpijak mereka selalu membawa cahaya yang menyinari umat dari kegelapan dan kesesatan. KH. Abdul Fattah Hasyim ibarat sebuah lentera yang selalu di kerubuti kumbang kumbang malam di manapun lentera tersebut berada kumbang kumbang itu selalu mengikutinya. Dalam al Rozi , Tafsir al Rozi, (CD Maktabah Syamilah )Vol. 12 hal. 363
Sebagaimana yang terjadi ketika KH. Abdul Fattah Hasyim pindah ke Denanyar dari menuntut ilmu di Tebuireng di mana banyak santri dari Tebuireng yang ikut hijrah beliau ke Denanyar, hal serupa juga terjadi ketika beliau di minta kembali ke Tambakberas setelah meninggalnya ayahandanya KH. Hasyim Idris, banyak di antara santri santri Denanyar yang ikut hijrah beliau ke Tambakberas, hal ini di sebabkan karena beliau adalah sosok Guru yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan selalu menjadi panutan murid muridnya.
Setelah menikah, beliau menetap di Denanyar. Karena ketelatenan dan keuletan beliau dalam mendidik santri-santri saat masih menjadi tangan kanan gurunya di Tebuireng dulu, maka ketika KH. Fattah menetap di Denanyar, banyak santri yang ikut hijroh ke Denanyar juga. Namum beliau mengabdikan diri di Denanyar hanya sampai tahun 1942, meskipun demikian yang memprakarsai adanya Madrasah di Denanyar adalah KH. Fattah. Kembalinya KH. Fattah ke Tambakberas disebabkan setelah Ayahandanya berpulang ke Rahmatullah, beliau merasa terpanggil untuk melanjutkan berjuang di bumi Tanbakberas dengan diikuti 40 santri.
Pada masa masa awal beliau KH. Abdul Fattah Hasyim menggepakkan kakinya di pondok pesantren Tambakberas, pondok peninggalan dari mbah mbahnya tersebut kondisi santrinya sangat sedikit sekali bahkan santri yang tinggal di pondok tersebut tinggal dua belas orang, dan rupanya merosotnya pamor Pesantren terutama menurunnya jumlah santri tidak hanya di alami oleh Pondok Pesantren Tambakberas saja, akan tetapi hampir seluruh Pesantren yang di jawa mengalami hal yang sama. hal ini bila di teliti lebih dalam di sebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk memperdalam ilmu di Pondok Pesantren.
Maka dengan kondisi Pondok Pesantren yang sudah sangat kritis di tengah situasi dan kondisi yang tidak menentu ini timbulah i’tikad dan perjuangan KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Fattah Hasyim dan Kyai Kyai lain untuk mengembalikan para Santri ke meja belajar, upaya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim di bantu oeh Kyai Kyai lain di bawah arahan KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah memberikan himbauan kepada masyarakat dalam menangkis seluruh gangguan baik secar fisik maupun mental terhadap eksistensi dan perkembangan Pondok Pesantren,
Di antara usaha yang di lakukan adalah mengajukan permohonan kepada pemerintah Jepang dengan mengatasnamakan guru yang mengajar di Tambakbeas setelah sebelumya mengajukan permohonan atas nama ranting NU di tolak. Dalam pengajuan permohonan ini bertindak sebagai ketua adalah KH. Abdul Fattah sendiri di bantu oleh pengurus pengurus yang lain di antaranya adalah, KH. Abdul Jalil, KH. Abdurrohim, K. Zubair, bapak Ma’ruf dan bapak Soihah, yang kesemuanya di hadirkan di Jombang untuk berjanji dan bersumpah di hadapan pemerintah Jepang, di bawah ancaman nyawa, dan pada akhirnya dengan semangat jihad yang tinggi, permohonan para Kyai tersebut di kabulkan oleh pemerintah Jepang, dan pada ahirnya Madrasah di perbolehkan beroprasi kembali.
Langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim setelah berhasil membebaskan lembaganya dari intervensi penjajah Jepang adalah menciptakan image (anggapan positif) bagi seluruh anggota masyarakat terhadap citra Pondok Pesantren yang sebelumnya tercoreng akibat propaganda kaum penjajah, melalui mimbar mimbar pengajian rutin yang beliau rintis bersama sama para tokoh masyarakat yang di antaranya adalah K. Husni, dan K.Abdul Jalil. Dalam mimbar pengajian tersebut beliau-beliau mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengarahkan anak anaknya agar belajar di sekolah sekolah Islam yang di antaranya adalah Madrasah Ibtidaiyah Tambkberas.
Setelah situasi dan kondisis mulai kondusif, rongrongan dan fitnah dari kaum penjajah terhadap Pondok Pesantren sudah tidak ada lagi, langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan kemajuan Pendikan Islam di Bahrul Ulum adalah beliau merintis berdirinya Madarasan Muallimin Mualliamat sebagai lembaga sekolah lanjutan tingkat menengah dan atas dan Pondok Pesantren Putri al fathimiyyah sebagai sarana tempat tinggal bagi santri putri yang ingin mondok dan belajar secara optimal di Tambakberas. Dan sepeninggal KH.Abdul Hamid beliau di beri amanat untuk mengasuh santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
Pada tahun 1956, di Tambakberas telah berdiri sebuah sekolah bernama “Mubdil Fan” yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbulloh. Dan beberapa tahun kemudian jenjang pendidikan formal yang telah ada ditambah dengan mendirikan Madrasah Muallimin Muallimat Atas (MMA) ,waktu itu dengan jenjang pendidikan 4 tahun . Dan pada tahun 1965 MMA disempurnakan menjadi 6 tahun. Tapi di tengah-tengah tahun 1965 MMA disempurnakan Ulum, pada tanggal 7 Ramadlan Almaghfurlah KH. Abdul Hamid yang mengelola dan bertanggungjawab terhadap PP. Bahrul Ulum berpulang ke Rahmatulloh, sehingga pengelolaan selanjutnya di percayakan kepada KH, Abdul Fattah Hasyim, sementara KH. Abdul Wahab Hasbulloh sendiri aktif di Organisasi Nahdlotul Ulama’ .
Di antara kesibukan beliau dalam mengelola Pondok Pesantren dan madrasah serta membina masyarakat di sekitarnya, ternyata KH. Abdul Fattah sama sekali tidak melupakan tugas utamanya sebagai seorang ayah. Dalam mendidik putra-putranya beliau terkenal sangat tegas dan menanamkan sikap disiplin tinggi sebagaimana ayaha beliau dulu mendidik beliau KH. Hasyim Idris, ketegasan beliau terlebih menyangkut hal-hal yang bersifat prinsipil dapat dirasakan pada putra putri beliau, salah satu contoh ketika ada yang melanggar maka harus siap menerima hukumannya. Tetapi sebenarnya beliau bukanlah sosok yang diktator, ini dapat ditelaah dari cerita putra beliau. Ketika itu salah satu dari putra beliau yang pulang dari pesantren mengambil sebuah kebijakan hukum yang tidak sama dengan beliau, melihat hal itu, KH. Abdul Fattah tidak langsung menyalahkan atau menyalahi putranya itu. Tapi dengan amat bijaksana beliau menanyakan tentang dasar-dasar hukum yang diambil pijakan oleh putranya tersebut, dan ketika sang putra berhasil mengajukan sebuah argumen yang cukup dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, mak dengan bijaksana pula beliau mendukung dan memebenarkan apa yang dilakukan oleh putranya itu . Hal ini sebagai bukti bahwa dalam menghadapi darah dagingnya beliau cukup demokratis, yang penting tidak melanggar syariat.
F. Kyai Fattah dan Masyarakat
Di lihat dari aspek amaliyahnya terutama bagi masyarakat terdapat empat tipe seorang Kyai yaitu Pertama adalah Kyai tandur ( Kyai yang hanya mengurusi pegajian umat ) Kedua kyai tutur ( Kyai yang memberikan ceramah / ahli pidato) Ketiga Kyai catur ( kyai yang berkecimpung di dunia politik) dan Keempat adalah Kyai sembur (kyai yang memberikan terapi dan pengobatan pada masyarakat).
KH. Abdul Fattah Hasyim adalah tipikal Kyai yang masuk pada kelompok pertama, di mana beliau adalah bisa dikatakan sebagi khodimul ilmi wal-ummah seorang Kyai yang hidupnya di curahkan untuk melayani umat, yang selalu memberikan bimbingan dan arahan mereka tentang ajaran ajaran islam yang di bawa Rosulullah SAW, menjauhkan mereka dari jurang kekufuran dan menghindarkannya dari limbah kebodohan dan keterbelakangan.
Pada tahun 1964 bersama sama sejumlah Kyai Tambakberas di antaranya adalah K.Khotib, K.Masykur dan K. Soihah beliau merintis pengajian masyarakat (Majlis Ta’lim), sebagai tindak lanjut terhadap pengajian yang pernah di rintis oleh KH. Abdurrohim. Tahap awal permulaan pengajian yang yang di prakarsai oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim bertempat di Musholla Gedang, (sebelah timurnya makam Mbah Wahab) dan pada perkembangannya pengajian yang di rintis oleh para Kyai tersebut semakin maju dan berkembang, dan bahkan merambat ke sebagian besar Musholla-Musholla yang berada di desa Tambakberas dan sekitarnya, sehingga dengan semakin besarnya animo masyarakat terhadap pengajian serta semakin banyaknya majlis majlis pengajian yang di selenggarakan di Musholla-Musholla maka terbentuklah semacam asosiasi atau perhimpunan para Kyai yang bertugas memberikan pengajian rutin di masyarakat yang dalam istilah sekarang dewan pengajian rutin atau dinas pengajian rutin (DPR). Sebagaimana di ceritakan oleh Mbah kholiq, seorang pegiat pengajian KH. Abdul Fattah menuturkan, “karena begitu antusiasnya para Masyarakat dalam mengikuti pengajian yang di rintis oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dan para Kyai Kyai Tambakberas hingga Panitia Pengajian memasang tenda untuk jamaah yang hadir, di sebabkan kondisi daya tampung musolla sudah tidak mampu menampung banyaknya para jamaah yang mengkuti pengajian”
Dalam memberikan pengajian di masyarakat yang di adakan tiap malam Ahad KH. Abdul Fattah Hasyim mempunyai kedisipinan yang sangat tinggi, ketika pengajian di mulai pada jam delapan maka sebelum jam delapan beliau sudah berada di majlis pengajian, pada hal saat itu belum ada transportasi seperti sekarang, kondisi jalan masih becek (jembrot : bahasa Jawa), dan belum ada lampu peneragan jalan.
Dalam menjalin pergaulan dengan masyarakat sekitar beliau KH. Abdul Fattah Hasyim termasuk tipe orang yang humanis memiliki rasa kepedulian sosial yang sangat tinggi terhadap setiap orang, senang menghadiri undangan acara masyarakat kampung di tengah kesibukannya mengasuh santri dan masyarakat, gemar memberikan santunan kepada Faqir miskin dan orang yang membutuhkan. Dengan rasa solidaritasnya yang begitu tinggi terutama terhadap Faqir Miskin dan orang orang yang membutukan maka pada setiap akhir bulan Romadlon, bersama tokoh tokoh masyarakat beliau membentuk panitia yang menghimpun zakat fitrah dari masyarakat kemudian di distribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti faqir miskin, anak anak yatim, Guru Guru Diniyyah dan lain lain.
G. Kiprah Di Organisasi
Berbeda dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang aktif dalam organisasi terutama organisasi NU, dan bahkan memelopori berdirinya Syarikat Islam, KH. Abdul Fattah Hasyim justru kurang begitu tertarik untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan organisasi. Kiprah beliau dalam lingkup lembaga NU hanya sebagai motivator dan pembakar semangat para Pemuda dalam memperjuangkan eksistensi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah masyrakat.
Sebagamana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim, pada saat NU masih menjadi partai politik beliau sering memberikan orasi kepada para simpatisan pendukung partai NU dalam musim kampanye partai NU, di antara isi orasi kampanye KH. Abdul Fattah Hasyim terhadapa para pendukung partai NU sebagaimana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim adalah bahwasanya sebelum mengawali kampanyenya terlebih dahulu beliau membunyikan nada batuk batuk ala NU, dalam mengucapkan batuk NU nada kalimatnya adalah “ u’u’u’uee-nnu” kemudian para pengunjung yang hadir secara kompak menirukan kalimat tersebut sehingga dengan strategi seperti itu para simpatisan memiliki semangat dan fanatisme yang tinggi terhadap partai NU.
Sedangkan motifasi kampanye beliau terutama terhadap kalangan para remaja di antaranya adalah: “ wahai para pemuda ansor kalian semua harus bisa memasyarakatkan islam ” di ucapkan dengan berulang ulang sehingga dengan keistimewaan yang di miliki beliau dalam membangkitkan gairah dan semangat para pemuda adiknya KH. Faiq menjulukinya sebagai seorang diplomat dan motifator yang ulung. ketika para pemuda dan para santri mendapat sentuhan motivasi beliau, mereka sontak langsung mendapatkan spirit dan motifasi (ghirroh) yang tinggi.
Sebagian pendapat mengatakan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim juga pernah terlibat aktif dalam organisasi massa hanya saja dalam level daerah. Sebagaimana yang di ungkapkan KH Djamaluddin Ahmad bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim pernah menjadi syuriah NU cabang Jombang di saat ketua umum Tanfizdiyahnya di pegang oleh KH. Aziz Bishri. begitu juga Mbah Ahyat perak menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim dalam organisasi NU beliau pernah menjabat sebagi Katib Syuriah NU, yang di antara tugas tugas beliau sebagaimana penuturan Mbah Muhayyat adalah menulis jawaban jawaban dari segala persoalan persoalan hukum yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Sedangkan menurut penuturan K. Kholil dari Nganjuk adalah bahwasannya KH. Abdul Fattah Hasyim sering mengikuti acara Halaqoh dan Bahtsul Masa’il membahas problematika umat bersama Ulama Ulama NU.
H. Kyai Fattah berpulang ke Rahmatulloh.
Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, KH. Abdul Fattah Hasyim semenjak beliau terjatuh dari pondok di depan ndalem beliau, kondisi kesehatan beliau mulai tidak stabil, sering sakit sakitan, dalam kondisi seperti ini beliau masih rutin mengimami jamaah shalat lima waktu serta memberiakan pengajian dan pengajaran kepada para santri, dan bahkan hingga pada masa masa kritis dari sakit yang beliau derita, beliau masih menanyakan siapa yang yang akan menemaninya dalam menjalankan shalat berjamaah.
Di usia yang ke enam puluh enam tahun, akibat sakit yang di derita dari hari ke hari kondisi kesehatan beliau semakin memburuk, tepat pada malam Juma’at tanggal 27 April pukul 22.15, minggu tenang menjelang pemilu 1977 beliau menghadap keharibaan sang Kholiq, Innaa lillahi wainnaa ilaihi rooji’uun
Duka yang mendalam menyelimuti seluruh masyarakat muslim terutama warga besar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum atas kepergian seorang Ulama’ besar, sosok pencinta ilmu yang seluruh hidunya di curahkan untuk membina dan membimbing umat, seorang pejuang pendidikan yang berhasil menorehkan sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Bahrul Ulum. allohummahamrhum, wayaghfirlahum, wayu’laa darojaaatahum fil jannah, wayanfa’unaa biarsroorihim waanwaarihim wabiuluumihim wabarokaatihim amiin.
Pada Jum’at pagi beliau di makamkan di pemakaman keluarga, sebelah selatan Madarasah Muallimin Muallimat atas wasiyat beliau yang menginginkan untuk di makamkan di sebelah selatan gedung Madrasah Muallimin harapan beliau dengan di makamkan di tempat tersebut ketika beliau sudah di alam baqo’, beliau masih bisa mendengarkan santri santri yang membaca kitab, melantunkan bait bait al-fiyyah dan ayat-ayat suci Al Qur’an.